jangan d klik

Senin, 02 April 2012

HARTA WARISAN YANG TAK DIBAGI

A. Kronologi Kasus

Nur kholis seorang bapak yang mempunyai dua istri, istri pertama sudah meninggal dunia, sedangkan istri kedua masih hidup dan biasa dipanggil Mbok Jembleh. Dari istri pertama Nur kholis memiliki seorang anak perempuan bernama Sainem. Karena dari istri kedua Cipto tidak mempunyai anak, maka Cipto mengadopsi seorang anak laki-laki bernama Sukirman. Jadi keluarga yang hidup serumah dengan Cipto ada tiga orang, yaitu Mbok Jembleh, Sainem dan Sukirman dan meninggalkan harta waris

1. Sawah seluas 0,185 Da persil No. 80 a S IV

2. Sawah seluas 0,177 Da dan

3. Tanah pekarangan seluas 39 ubin persil No. 81, di Komplek GOR Kel. Sidanegara, Kab. Cilacap

Kemudian oleh Cipto tanah pekarangan seluas 39 ubin itu dihibahkan kepada Sainem seluas 20 ubin, sedang 19 ubin sisanya diberikan kepada Sukirman anak angkat Cipto yang dirawatnya sejak masih bayi. Penghibahan tanah pekarangan tersebut dicatatkan pada Kantor Kelurahan setempat.

Pada tahun 1985, Cipto meninggal dunia dengan meninggalkan tiga orang dan meninggalkan sejumlah harta warisan berupa sejumlah tanah sawah yang belum dibagi.

Tanah warisan berupa sejumlah tanah sawah tersebut seharusnya dibagi untuk semua ahli waris. Namun ternyata tanah sawah tersebut dijual oleh Sainem dan Sadirman (keponakan Cipto Darsono) kepada Wardi, Sri Mulyani dan Suroso. Padahal sawah yang dijual tersebut menghasilkan gabah 4 ton/tahun yang selama ini menghidupi Cipto dan keluarganya.

Karena musyawarah tidak berhasil menyelesaikan masalah tanah warisan Cipto, akhirnya Sukirman untuk dirinya sendiri dan mewakili janda Mbok Jembleh, mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri sebagai Penggugat melawan para Tergugat yaitu Sainem, Sardiman, Wardi, Sri Mulyani dan Suroso.

Harta warisan berupa tanah yang ditinggalkan oleh Cipto belum dibagi, sehingga Pengadilan Negeri mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan, sehingga tanah yang dijual harus dikembalikan kepada orang yang berhak yaitu Mbok Jembleh.

Namun dalam hal ini pihak para Tergugat tidak mau mengalah begitu saja, mereka kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Tapi hasil putusan tidak dapat membuat mereka lega, karena Pengadilan Negeri menganggap bahwa alasan dan pertimbangan Hakim Pertama yang menjadi dasar putusannya telah tepat dan benar. Akhirnya para tergugat mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. Karena posisi Sainem sendiri terhadap harta warisan tersebut merupakan salah satu ahli waris yang sah, dan Sainem merupakan anak kandung satu-satunya. Atas pertimbangan ini Sainem merasa bahwa tindakannya menjual sebagian tanah waris yang belum dibagi tersebut adalah sah.

Dengan berbagai pertimbangan ulang, maka Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh para penggugat. Dan Mahkamah Agung memutuskan bahwa Wardi, Sri Mulyani dan Suroso (pihak yang membeli tanah dari Sainem dan Sadirman) dinyatakan dihukum dengan mengosongkan tanah yang sudah dibeli, dan Mbok Jembleh masih berhak menikmati seluruh peninggalan harta peninggalan Cipto Darsono.

B. Analisis Kasus

Dalam kejadian ini, kasus waris yang diangkat tidak sampai pada perebutan harta warisan, melainkan penyalahgunaan harta warisan sebelum terlebih dahulu harta waris itu dibagi.

Kematian orang yang mempunyai harta merupakan syarat terjadinya pewarisan, hal ini sesuai dengan pasal 830. Sehingga Sejak Cipto Darsono meninggal dunia, pewarisan adalah Mbok Jembleh dan Sainem. Adapun Sukirman tidak termasuk kedalam orang yang berhak menerima warisan yang ditinggalkan Cipto Darsono, karena Sukirman merupakan anak adopsi atau anak angkat. Akan tetapi Cipto Darsono telah menunjukkan keadilannya sebagai seorang Ayah dengan menghibahkan sejumlah bagian tanah pekarangan. Menurut pasal 832 BW telah diatur tentang siapa saja yang berhak menerima harta warisan, dan anak adopsi tidak termasuk di dalamnya. Sedangkan Mbok Jembleh merupakan orang dalam kategori suami istri yang hidup terlama, dan Sainem merupakan orang dalam kategori keluarga sedarah, jadi keduanya dianggap berhak menerima harta warisan dari Cipto Darsono.

Harta yang ditinggalkan Cipto Darsono berupa tanah sawah merupakan obyek waris, hal ini sesuai dengan pasal 833 ayat I KUH Perdata. Setelah meninggal, harta warisan yang ditinggalkan tidak bagi. Sainem yang merasa dirinya berhak atas seluruh harta peninggalan Ayahnya, kemudian dia bersama Sardiman (keponakan Cipto Darsono) menjual tanah warisan tersebut tanpa sepengetahuan Mbok Jembleh kepada Wardi, Sri Mulyani dan Suroso. Sainem menjual tanah tanpa seizin Mbok Jembleh kemungkinan karena Sainem berfikir bahwa Mbok Jembleh bukanlah Ibu kandungnya. Namun menurut pasal 832 Mbok Jembleh termasuk sebagai orang yang berhak mendapat warisan tersebut, jadi meski Sainem juga berhak dan ingin menjual tanah tersebut, seharusnya dia meminta izin atau seharusnya dimusyawarahkan dengan Mbok Jembleh.

Apabila motifnya Sainem menjual tanah tersebut untuk kepentingan pribadi, maka jelas tindakan Sainem ini akan sangat merugikan Mbok Jembleh, karena sejak Cipto Darsono masih hidup, tanah sawah itulah yang memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Padahal dia sudah mendapatkan hibah tanah pekarangan sewaktu Ayahnya masih hidup.

Sukirman dalam hal ini meski bukan termasuk sebagai orang yang berhak mendapatkan warisan, dia mewakili Mbok Jembleh untuk menuntut hak yang seharusnya didapatkan oleh Mbok Jembleh kepada Pengadilan Negeri. Yang dilakukan Sukirman ini dibenarkan dalam BW pasal 834 mengenai kebolehan ahli waris menuntut hak waris penuh apabila dia satu-satunya ahli waris, dan menuntut sebagian apabila ada ahli waris lain, karena memang dapat dipastikan bahwa Mbok Jembleh berhak menikmati harta warisan tersebut selama Mbok Jembleh belum menikah lagi atau meninggal dunia. Ketika Sainem mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi apabila bisa dibuktikan bahwa sebelum dijual tanah tersebut masih atas nama Cipto Darsono, maka tiga orang tergugat tidak dapat mempertahankan tanah yang dibeli dari Sainem dan Sardiman, walaupun mereka dapat menunjukkan bukti pembelian tanah.

Akan tetapi apabila diteliti lebih lanjut, maka tergugat yang membeli tanah tersebut berhak mendapat perlindungan hukum, karena ketika membeli tanah tersebut mereka terlepas dari latar belakang tanah tersebut apakah mereka membeli dari pemilik tanah yang sah atau tidak, apabila telah terjadi transaksi maka tanah itu adalah milik mereka.

Disamping itu tentang apa yang dilakukan Sainem menjual tanah tersebut bisa dikatakan sah, karena Sainem merupakan anak kandung satu-satunya Cipto Darsono. Dan juga berdasarkan pasal 852 BW, bahwa bagian istri yang hidup terlama tidak akan mendapatkan bagian lebih besar dari pada anak kandung dari istri terdahulu. Apabila dilihat dari pihak Sardiman, posisi Sardiman sendiri adalah lemah. Dia tidak mempunyai dasar hukum untuk menjual tanah warisan tersebut, karena Sardiman bukanlah ahli waris dari harta peninggalan pamannya, sehingga ia tidak berhak menjual dan menguasai tanah tersebut. Maka putusan yang paling tepat adalah seperti apa yang diputuskan oleh Mahkamah Agung, juga sesuai dengan yang telah diatur dalam pasal 839 BW. Sehingga dari keputusan ini memunculkan putusan bahwa, orang yang telah membeli tanah dari Sardiman inilah yang harus dikembalikan, dan kemudian dikembalikan kepada yang berhak, yaitu Mbok Jembleh.

Minggu, 01 April 2012

ingin jual rumah via online + cepat lagi

anda ingin menjual rumah atau membeli rumah via internet dengan harga yang anda inginkan? kami siap membantu anda untuk mempertemukan kepada orang yang sedang mencari rumah anda atau anda sedang bingung cari rumah idaman anda kami juga siap membantu anda. klik banner dibawah ini maka anda akan bertemu kepada orang yang anda cari
Pasang Iklan Rumah

Your Ad Here

About Me

Foto Saya
Oliez
saya orangnya slengean cuy
Lihat profil lengkapku